Aceh Melihat Indonesia

(Tuesday, February 03, 2009)


Nezar Patria, seorang peneliti mengenai Aceh. Menurutnya, selama ini Aceh banyak dilihat dari kacamata Indonesia

Mungkin perlu juga kita balik cara pandangnya bagaimana Aceh melihat Indonesia. Sudut pandang yang pertama mengasumsikan satu dominasi tetapi kalau dengan sudut pandang kedua saya kira itu platform nya adalah akomodasi. Mungkin menarik misalnya bagaimana orang Aceh memaknai Indonesia, memaknai hidup bersama dalam satu platform Republik, dan apakah sebetulnya cita-cita yang ingin kita raih lewat ke-Indonesia- an bersama warga Indonesia.
Nezar Patria mengatakan fase-fase Aceh bersama Republik Indonesia sering sekali dilupakan baik oleh gerakan yang menentang Republik maupun gerakan yang mempertahankan Republik. Padahal kalau dikembalikan kepada fase-fase setelah tahun 1945-1953, fase dimana Aceh menunjukkan kesetiaan dan loyalitas luar biasa mendukung kaum Republikan pada waktu itu mungkin bisa dijadikan platform, bahwa Aceh pernah bersama-sama dengan Indonesia untuk satu cita-cita. Tapi kenapa sekarang cita-cita itu seperti tenggelam. Orang sepertinya lupa bahwa Aceh bersama dengan suku bangsa yang lain untuk mendirikan satu nation yang kita sebut dengan Indonesia. Aceh pernah membuktikan bersama dengan suku-suku lain/daerah lain di Republik ini melebur mencoba mempertahankan apa yang kita sebut Indonesia. Tapi bagian itu seringkali seperti dilupakan, baik oleh mereka yang mempertahankan maupun melawan Republik. Berikut wawancara Jaleswari Pramodhawardani dengan Nezar Patria.

Bagaimana pendapat Anda mengenai kondisi Aceh belakangan ini karena banyak media melaporkan ketegangan mulai terjadi kembali di Aceh setelah tiga tahun perjanjian Helsinki yaitu ditandai dengan beberapa peristiwa besar seperti penculikan, pembunuhan, dan lain-lain?
Memang ada ketegangan yang boleh dikatakan meningkat dalam enam bulan terakhir di sepanjang Pantai Timur Aceh, dari Banda Aceh sampai ke Langsa, Aceh Timur. Pada umumnya ada banyak aksi penculikan, perampokan dengan motif uang. Jadi kita bisa katakan aksi itu termasuk kriminal, bukan aksi protes politik tidak setuju dengan perdamaian dan lain-lain. Ketegangan yang terjadi di Aceh itu sifatnya kriminal.

Apakah hal itu memang tidak perlu dikhawatirkan?
Saya kira tidak perlu dikhawatirkan secara serius, maksudnya, tidak akan dapat mengancam perdamaian. Yang diperlukan yaitu satu tindakan tepat untuk mengantisipasi atau menangani aksi kriminal ini. Harus secara tepat karena kita tahu banyak pelaku aksi kriminal, seperti yang sudah ditangkap dan diinterograsi polisi adalah bekas anggota kombatan (istilah untuk pasukan tempur darat, Red) yang pernah bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kalau ditangani secara tidak tepat maka seakan-akan gerakan itu memiliki motif-motif lain yang tidak setuju dengan perjanjian damai Helsinki, dan sebagainya.

Bagaimana Anda melihat bentuk perjuangan GAM sekarang karena dulu kita melihat mereka mengangkat senjata tapi sekarang perjuangan mereka lebih ke politik? Apakah tujuan akhir dari perjuangan GAM masih seperti dulu atau tidak seperti ingin melepaskan diri dari Indonesia?
Saya kira setelah mereka sepakat dengan perjanjian Helsinki maka persoalan merdeka bukan lagi menjadi platform GAM. Mungkin mereka sudah menafsirkan bahwa yang dibutuhkan sekarang bukan lagi merdeka seperti yang dicanangkan sejak awal, tetapi mencoba mengisi yang mereka yakini sebagai self government, seperti yang mereka sebut dalam tahap-tahap perundingan di Helsinki tiga tahun yang lalu. Saya belum menemukan satu pernyataan politik dari pimpinan-pimpinan GAM seperti Malik Mahmud, Zaini Abdullah, Zakaria Zaman bahwa mereka akan terus berjuang untuk memerdekakan Aceh dari Republik Indonesia (RI). Sama sekali tidak ada pernyataan seperti itu. Saya pikir secara politik kelihatannya hal itu bukan lagi menjadi platform bagi GAM, apalagi setelah mereka bertransformasi dari gerakan bersenjata ke gerakan politik.

Kalau menurut Anda, kemana arah perjuangan gerakan politik GAM sekarang karena kalau dulu jelas ingin melepaskan diri dari Indonesia?
Seperti sering mereka ungkapkan dengan bahasa mereka sendiri bahwa mereka ingin memulihkan hak-hak ekonomi dan politik rakyat Aceh, dan membuat apa yang mereka sebut sebagai bangsa Aceh itu kembali bermartabat dan berdaulat atas diri mereka sendiri. Saya tidak tahu sebenarnya masyarakat yang mereka bayangkan ke depan bagi Aceh. Namun kalau dari arah politik, dari arah program yang mereka cita-citakan maka platformnya kurang lebih pada keadilan dan kesejahteraan buat rakyat Aceh.

Beberapa bulan lalu Hasan Di Tiro datang dan Anda adalah salah seorang yang pernah menulis tentang tokoh ini. Di Indonesia tokoh ini didekati secara paradoksal yaitu bagi kawan-kawan di Aceh bisa merupakan semacam energi untuk mendorong sebuah perjuangan, tapi di Indonesia tidak lebih sebagai pemimpin dari GAM. Bagaimana Anda melihat sosok Hasan Di Tiro?
Hasan Di Tiro dalam pandangan saya pribadi adalah sosok yang kontroversial. Masa mudanya dihabiskan untuk perjuangan kemerdekaan RI. Dia sangat anti kolonial, dia bergabung dengan barisan pemuda Indonesia di Lamhok, Pidie, pada tahun 1930-an. Lalu sewaktu sekolah di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta pada 1946-1947, dia banyak menulis artikel yang mendukung perjuangan kemerdekaan RI. Kita tahu masa-masa itu Indonesia sedang mencari arah, dan masing-masing kelompok yang berjuang untuk kemerdekaan sepertinya menyodorkan proposalnya masing-masing seperti kelompok nasionalis, agama, komunis. Hasan Di Tiro berada di jalur agama, Islam sesuai yang berkembang di Aceh dimana cita-cita Islam begitu kuat menjadi energi perlawanan terhadap kolonial. Dia dekat dengan tokoh-tokoh Masyumi. Ketika ketidakpuasan terjadi dalam soal merumuskan dasar negara, misalnya, dia condong dekat dengan kelompok Masyumi. Kemudian ketika Teungku Daud Beureueh mendeklarasikan pemberontakan Darul Islam (DI) maka dia pun bergabung ke sana. Memang ada pergeseran cita-cita Hasan Di Tiro, dari orang yang pro menjadi kecewa terhadap Republik.

Kapan Anda melihat mulai terjadi pergeseran itu?
Kalau kita lihat dari karya-karyanya, kekecewaan itu dimulai ketika dia protes terhadap kekerasan yang dilakukan oleh Tentara Republik sewaktu memberantas Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Aceh yaitu pada peristiwa di desa Pulot dan Cot Jeumpa di tahun 1958, dimana sekelompok tentara menembaki rakyat sipil. Waktu itu Hasan Di Tiro sedang sekolah di Amerika Serikat (AS). Dia mendengar berita itu, lalu membuat satu surat protes kepada Perdana Menteri Ali Sastro Amidjojo meminta kasus itu segera diselesaikan atau dia akan membawa ke masyarakat internasional.

Jadi sebetulnya pada awal masa gerakan, Hasan Di Tiro memberikan kritik kepada Indonesia tentang kesewenang-wenangan Indonesia bukan hanya pada kekerasan yang terjadi di Aceh saja.
Ya, mungkin juga di dorong oleh pertarungan politik di tingkat nasional antara kelompok agama, kelompok nasionalis, kelompok komunis. Waktu itu Soekarno kelihatannya lebih condong ke kelompok nasionalis dan komunis, sementara ada ketidakpuasan dari kelompok yang berada di garis agama. Sewaktu pemberontakan DI/TII, jelas sikap Hasan Di Tiro memihak kepada Darul Islam.

Saya pikir sedikit sekali orang yang mengetahui tentang siapa Hasan Di Tiro selain sebagai pemimpin perjuangan GAM karena sedikit sekali media masa bercerita tentang sosok dari tokoh ini. Saya yakin Anda mengenal lebih dalam dengan tokoh ini. Tolong Anda bisa ceritakan?
Pertemuan saya dengan Hasan Tiro bukan dalam bentuk fisik, tetapi pertemuan lewat karya-karya dia. Lima tahun terakhir ketika situasi di Aceh begitu panas dan banyak orang mau mati untuk satu cita-cita yang dideklarasikan oleh GAM menimbulkan pertanyaan buat saya pribadi. Mengapa orang mau mati untuk satu cita-cita itu, ada apa sih?

Bahkan Anda sebagai orang Aceh mempertanyakan itu?
Ya, saya orang Aceh generasi muda yang dibesarkan di bawah Orde Baru dimana saya tidak pernah kenal siapa itu Hasan Di Tiro. Hasan Di Tiro yang singgah di kepala saya sewaktu kecil dimana saya bersekolah SD sampai SMA di Banda Aceh adalah sosok seperti yang ditiupkan oleh Orde Baru, bahwa dia tokoh pemberontak yang dulu terkenal dengan sebutan GPLHT atau Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro. Pada tahun 1977-1978 di kampung-kampung termasuk kampung saya, saya pernah melihat poster Hasan Di Tiro sebagai “Most Wanted Person” dicari Hidup atau Mati. Saat itu poster Hasan Di Tiro dengan beberapa jajaran pimpinan-pimpinan Aceh Merdeka, dulu tidak disebut GAM tapi disebut Aceh Merdeka (AM). Dulu kita semua takut dengan sebutan AM itu karena ada penangkapan dan orang tidak berani protes. Pada masa itu semua informasi sangat dikendalikan. Kadang kalau kita pakai baju dengan tulisan AM, padahal itu merk suatu produk sudah ditanya, “Wah, kamu anggota Aceh Merdeka?” Langsung kita ganti baju itu karena takut. Belakangan setelah lima tahun terakhir saya mencoba mengumpulkan dan membaca yang pernah ditulis Hasan Di Tiro, saya sedikit takjub melihat sosok ini. Dalam artian dia sebetulnya adalah produk dari yang kita sebut sebagai mencari keIndonesiaan. Pertama, dia adalah sosok yang ikut bergulat dalam perjuangan kemerdekaan. Dia ikut dalam barisan pemuda Indonesia di Lamhok, dia sekolah di Yogya bertemu dengan kelompok nasionalis dan dia mengeluarkan artikel yang sangat Republikan di tahun 1946 – 1950 sampai kemudian dia kecewa dengan pemerintahan Soekarno terkait bagaimana Soekarno memperlakukan Aceh. Ada suatu yang unik dari Hasan Di Tiro, walaupun dia sekolah di Yogya dan mengeluarkan artikel yang Republikan, anti kolonial dan pro dengan revolusi kemerdekaan Indonesia, tetapi dia selalu memberikan konteks Aceh. Misalnya, saat menulis artikel perang kemerdekaan maka dia selalu merujuk pada apa yang dilakukan oleh orang-orang Aceh melawan kolonial. Heroisme orang Aceh selalu ditekankan dalam artikel itu. Sebetulnya dia sudah sangat Aceh pada awalnya.

Jadi untuk menumbuhkan non nasionalisme Aceh itu sebetulnya bukan dari kemarin saja, tapi sejak awal perjuangan dia sudah mengusung itu?
Belum secara tegas, dia selalu berfikir masih dalam konteks ke Indonesia. Dia mewakili perasaan Old State Aceh pada waktu itu. Dia cukup yakin bahwa Aceh ini sebelumnya adalah negara yang berdaulat sampai kemudian Belanda datang lalu terjadi perlawanan, lalu kemerdekaan. Berita kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta di Jawa sampai ke Aceh kurang lebih satu bulan setelah proklamasi, dan ada rapat besar untuk memutuskan apakah Aceh akan mendukung deklarasi kemerdekaan itu atau tidak. Para pemimpin Aceh dengan tegas menyatakan bahwa yang dideklarasikan oleh Soekarno dan Hatta adalah kelanjutan dari perjuangan para pahlawan Aceh seperti Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Tjut Nyak Dien, dan sekarang gelombang perlawanan melawan kolonial itu dipimpin oleh saudara kita Ir. Soekarno. Jadi dengan deklarasi itu sebetulnya sudah ada pernyataan politik kesepakatan dari para elit Aceh pada waktu itu untuk mendukung perjuangan kemerdekaan.

Sedikit melompat, Saya kira fase-fase Aceh bersama Republik itu sering sekali dilupakan baik oleh gerakan yang menentang Republik maupun gerakan yang mempertahankan Republik. Padahal kalau dikembalikan kepada fase-fase setelah tahun 1945 – 1953, fase dimana Aceh menunjukkan kesetiaan dan loyalitas luar biasa mendukung kaum Republikan pada waktu itu mungkin bisa dijadikan platform, bahwa Aceh pernah bersama-sama dengan Indonesia untuk satu cita-cita. Tapi kenapa sekarang cita-cita itu seperti tenggelam. Orang sepertinya lupa bahwa kita bersama dengan suku bangsa yang lain untuk mendirikan satu nation yang kita sebut dengan Indonesia. Aceh pernah membuktikan bersama dengan suku-suku lain/daerah lain di Republik ini melebur mencoba mempertahankan apa yang kita sebut Indonesia. Tapi bagian itu seringkali seperti dilupakan, baik oleh mereka yang mempertahankan maupun melawan Republik.

Bagaimana Anda melihat kedatangan Hasan Di Tiro kemarin, apa makna peristiwa tersebut?
Terakhir Hasan Di Tiro pulang ke Aceh 32 tahun yang lalu, tahun 1976 setelah sekian lama merantau. Dia pulang ke Aceh sebetulnya dengan satu agenda. Dia ingin menawarkan jalan keluar atas marginalisasi ekonomi dan politik yang waktu itu terjadi di Aceh. Kita mungkin harus trace back ke belakang sedikit, sebelum dia mendeklarasikan GAM sebetulnya sentimen nasionalisme Aceh sudah terbangun dalam karya dia yang ditulis dalam bahasa Aceh yang berjudul ‘Atjeh Bak Mata Donya’ yang artinya ‘Aceh di Mata Dunia’ pada 1964. Ini kelihatannya hasil dari riset sejarah yang dia lakukan selama berdiam di New York. Dia menemukan beberapa fase – fase penting dari sejarah Aceh yang menegaskan bahwa Aceh sebetulnya adalah kerajaan yang berdaulat sebelum Belanda datang di tahun 1873. Di karya ‘Aceh di Mata Dunia’ tersebut dia mengatakan bahwa saat Kerajaan Aceh dalam melawan Belanda sudah membuat hubungan–hubungan diplomatik dengan negara–negara yang pada waktu itu adalah negara–negara besar seperti Kerajaan Perancis, lalu dengan AS, Spanyol dan Turki. Hasan Di Tiro mendapatkan informasi itu dari harian New York Times yang terbit pada tahun 1873. Saat itu New York Times mengeluarkan lima edisi yang berisi tentang peperangan di Selat Malaka dimana Kerajaan Aceh pada waktu itu mengirimkan utusan–utusannya keluar dan berjuang gigih melawan invasi Belanda. New York Times dalam 5 seri editorial itu kelihatan memberikan support terhadap apa yang dilakukan oleh Kerajaan Aceh dalam melawan Belanda pada waktu itu. Hasan Di Tiro melihat bahwa ini adalah suatu bentuk pengakuan internasional terhadap Kerajaan Aceh sebagai negara yang independen dan berdaulat. Nah setelah itu fase perang yang terjadi di Aceh dari 1873 sampai 1911. Peperangan melawan Belanda digelorakan oleh para pejuang Aceh, begitu banyak yang gugur termasuk para ulama–ulama dan juga hancurnya Kerajaan Aceh. Di situ dia ingin menanamkan bahwa sebetulnya sebelum bergabung dengan RI, Aceh adalah suatu entitas politik yang berdaulat. Setelah tahun 1964 itu, dia mengulang lagi apa yang ditulisnya pada tahun 1974 lewat satu pidato di New York, tapi tidak jelas betul pidato tersebut dilakukan dimana. Dari dokumen yang saya sempat baca, dia menulis satu paper atau artikel yang juga sangat menarik yaitu ‘Peringatan 100 tahun perang di Bandar Aceh ketika Belanda masuk invasi ke Aceh pada Mei 1874. Dia menulis artikel tersebut untuk memperingati 100 tahun maka berarti artikel itu terbit tahun 1974, dan dia berpidato dihadapan sahabat–sahabat dan kenalan–kenalannya di AS yang waktu itu diorganisir oleh Institute of Aceh in America. Di sana dia mengulang apa yang ditulis dalam “Aceh di Mata dunia”, cuma dia memberikan satu konteks bahwa Aceh kembali memikirkan patroitisme nenek moyang.

Apakah pergulatan pemikiran yang Anda sebutkan tadi itu terbaca atau tidak di masyrakat Aceh?

Pada waktu itu Hasan Di Tiro dan masyarakat Aceh dipisahkan oleh dua samudera, jadi sangat jauh. Dia pulang ke Aceh pada tahun 1976 dengan membawa pemikirannya tadi. Dia mulai menyebarkan beberapa karyanya dan juga merekrut para pemuda–pemuda Aceh yang waktu itu merupakan lapisan paling maju yaitu yang bersekolah di Sumatera Utara dan juga di luar negeri. Misalnya, dia bertemu dengan Husaini Hasan yang bersekolah di Universitas Islam Sumatera Utara dan ada juga beberapa orang lainnya yang belajar di Universitas Sumatera Utara (USU). Mereka sebetulnya sudah mempunyai kontak yang erat juga karena pada masa itu Aceh baru saja pulih dari pemberontakan Darul Islam tetapi kekecewaan terhadap pemerintah pusat atau Jakarta masih tersisa di beberapa intelektual muda. Jadi ketika Hasan Di Tiro pulang, dia bertemu lagi dengan kelompok-kelompok pemuda tersebut, seperti Muchtar Hasbi yang kemudian dikenal sebagai Perdana Menteri pertama GAM. Dia seorang Doktor jebolan Universitas di Thailand. Dia mendukung apa yang disampaikan Hasan Di Tiro bahwa jalan keluarnya adalah kita harus memisahkan diri dari Republik karena pemberontakan Darul Islam terbukti tidak menyelesaikan persoalan–persoalan mendasar hubungan Aceh dan Jakarta.

Apakah setelah itu dideklarasikan GAM?
Lalu, pada tahun 1976 bersama dengan tenaga baru tersebut dia mendeklamasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan platform baru bukan lagi seperti Darul Islam tetapi untuk ke arah negara Aceh yang merdeka. Jadi ada tulisan platform dari Darul Islam ke nasionalisme Aceh. Dia menulis satu buku yang cukup menarik ‘Demokrasi untuk Indonesia’ di tahun 1958 yang sebetulnya protes terhadap konsep persatuan dan kesatuan yang ditiupkan oleh Soekarno. Menurut dia, kalau konsep itu dipaksakan maka suku mayoritas yang akan selalu dominan dan menentukan apa itu Indonesia. Nah pada waktu itu dia mencoba membeberkan dan mencoba mengkritik semua segi–segi yang menurut dia memiliki kandungan dominasi etnis tertentu di Indonesia yang akan menentukan apa itu ke-Indonesiaan. Dia menawarkan seharusnya ada demokrasi yang lebih regional sifatnya atau federalisme seperti yang dia tawarkan pada tahun 1958 sebelum beranjak ke tahun 1964 menuliskan tentang Atjeh Bak Mata Donya. Jadi saya kira menarik untuk melihat bagaimana dia bergeser dari federalisme kemudian melihat bagaimana usulan dia itu tidak ada respon yang sangat kuat, lalu dia mencoba menggali kembali apa sih sebetulnya energi buat orang-orang Aceh ini untuk berdiri kembali menjadi satu nation. Dia coba gali patrotisme Aceh yang pernah terjadi pada tahun 1873 sampai 1911 ketika melawan Belanda dan terus berlanjut dengan perjuangan-perjuang an dengan konsep yang lebih modern di bawah pemberontakan Darul Islam dan hubungan Aceh dengan gerakan-gerakan nasionalis pada waktu itu. Ini kita bicarakan dari sudut pandang Hasan Di Tiro. Saya kira sejarah Aceh tidak semata-mata seperti itu, ada juga hubungan-hubungan lain yang terjadi bahkan kemerdekaan yang berlangsung di Jawa atau Sumatera pada umumnya juga dipelopori oleh sentimen antikolonial yang kuat. Itu digerakkan oleh organisasi yang progresif, Syarikat Islam yang pada waktu itu juga sampai ke Aceh pada tahun 1912 dan memberikan visi-visi yang modern di tengah perjuangan yang tidak lagi dalam format Kesultanan. Cita-cita untuk sebuah Republik, atau satu identitas untuk politik yang lebih modern sudah muncul pada masa-masa itu. Hanya saja dia tidak sempat berkembang karena perang yang bergejolak melawan Jepang. Lalu, ketika agresi kedua Belanda, Aceh tidak ikut terkena agresi. Jepang dilucuti di Aceh pada waktu itu, lalu mereka bergerak ke Medan untuk membantu kawan-kawan yang berjuang di Medan Area, istilah pada waktu itu. Nah bantuan dari pasukan Aceh pada tahun 1947 itu sampai 1949 cukup signifikan.

Terakhir, bagaimana sebenarnya memahami Aceh setelah apa yang Anda paparkan tadi?
Selama ini Aceh banyak dilihat dari kacamata Indonesia, mungkin perlu juga kita balik cara pandangnya bagaimana Aceh melihat Indonesia. Sudut pandang yang pertama mengasumsikan satu dominasi tetapi kalau dengan sudut pandang kedua saya kira itu platformnya adalah akomodasi. Mungkin menarik misalnya bagaimana orang Aceh memaknai Indonesia, memaknai hidup bersama dalam satu platform Republik, dan apakah sebetulnya cita-cita yang ingin kita raih lewat ke-Indonesia- an bersama warga Indonesia. Ini seringkali kita lupa, misalnya, momen mengenai misalnya hari ini hari Pahlawan. Mungkin menarik melihat di tengah pergolakan hubungan antara pusat dan daerah khususnya di Aceh dan Papua. Kita coba memaknai Indonesia dari sudut pandang lokal. Yang pertama bahwa yang berharga dari Indonesia buat orang-orang Aceh dan kita semua, saya kira pergulatan yang terjadi pada masa-masa revolusi kemerdekaan dan ide-ide tentang nasionalisme yang dibawa oleh gerakan-gerakan anti kolonial, sesungguhnya menyumbang banyak beberapa titik temu yang bisa menyatukan termasuk tentang cita-cita negara yang adil dan sejahtera yang mungkin kita masih perjuangkan sampai saat ini. Mungkin itu perlu dihidupkan kembali. Sebetulnya yang dicari oleh orang-orang Aceh adalah yang pertama keadilan karena mereka merasa bergabung dengan Republik hampir 60 tahun yang dirasakan adalah ketidakadilan lebih banyak. Hubungan Aceh dengan Jakarta akhir-akhir ini saya kira sebetulnya hubungan cinta dan benci

dikutip dari
http://www.pontiana kpost.com/index.php? mib=berita. detail&id=9344

Posted in Diposkan oleh kulatbulat di Tuesday, February 03, 2009